Irrashaimase

Welcome Welcome di Blog Super Gaje punya Lady Noal

Selasa, 20 Juli 2010

HI dan Literatur Pemikiran para Figur Utama

Hubungan Internasional dalam Literatur Pemikiran Para Figur Utama
Apa yang dapat kita pelajari dari gambaran-gambaran pemikiran ini sebenarnya adalah, walau bagaimanapun, adanya keseragaman arus keinginan yang demikian kuatnya, yang didorong oleh semangat positivisme yang memang diakui sangat berkembang dan memiliki pengaruh yang besar dalam iklim akademis ilmu pengetahuan pada waktu itu. Di lain pihak, secara tidak sengaja, ternyata ranah pemikiran para tokoh, lebih banyak bersinggungan dengan ranah pemikiran yang disebut sebagai Realisme.

Tsucydides : Kepentingan dan Tuntutan Kekuasaan
Tsucydides (471-400 SM) dalam banyak literature hubungan internasional sering kali dihubungkan sebagai salah seorang pendiri disiplin hubungan internasional. Hal ini disebabkan oleh karena studinya yang terkenal tentang perang Peloponnesia (431-404 SM). Perang Peloponnesia adalah suatu bentuk literature klasik yang menjelaskan tentang sifat perang sesungguhnya dan bagaimana ia muncul. Karya ini sangat berpengaruh tidak hanya bagi filsafat politik secara keseluruhan, tetapi juga karena karya ini memberikan pemahaman yang cukup baik bagi kita dalam melihat dinamika hubungan internasional hingga saat ini.
Dalam karya tersebut terdapat beberapa hal berikut : Pertama, ia menampilkan ketakutan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan terhadap satu sama lain, sebagai sifat dasar yang mendorong terjadinya perang, Kedua, seperti halnya realis lainnya, pandangan TSucydides mempunyai daya tarik pada suatu rumusan hokum yang tetap membuat politik internasional sebagai domain kekuasaan dan kepentingan.

Thomas Hobbes dan Prinsip Negara Kedaulatan
Thomas Hobbes hidup dalam suasana malapetaka perang sipil di Inggris abad ke-17 antara kubu Charles I dan kubu parlemen yang akhirnya dimenangkan oleh kubu parlemen. Pengalaman bahaya-bahaya perang itu memberi kesan yang mendalam di hidupnya, bahwa anarki adalah sebuah bencana kemanusiaan paling tragis, dan kehidupan bermasyarakat adalah sebuah usaha yang rapuh. Pemikiran Hobbes tentang prinsip kekuasaan “negara berdaulat” ini sebenarnya bersumber dari pemahamannya akan sifat asali (state of nature) manusia yang dianggapnya secaara alamiah adalah mementingkan diri sendiri (selfish), suka bertengkar, haus kekuasaan, kejam dan jahat. Hobbes yakin bahwa terdapat jalan keluar dari keadaan alamiah (state of nature) ini menuju kondisi yang beradab, yaitu melalui penciptaan dan pemeliharaan negara berdaulat. Individu-individu pada dasarnya bekerja sama secara politik disebabkan oleh ketakutan mereka akan dilukai atau dibunuh oleh tetangganya. Namun menariknya, rasa ketakutan dan ketidaknyamanan ini malah mendorong mereka menjauh dari kondisi alamiahnya, yakin: perang semua melawan semua. Tampilnya konsep “negara kedaulatan” dianggap satu-satunya yang menguntungkan semua pihak bagi pemeliharaan kedaulatan-kedaulatan individu di tengah kehendak mereka masing-masing.

Nicollo Machiavelli dan Politik Kekuasaan
Pada titik ekstrem, ia dianggap sebagai mahaguru penipuan dan pengkhianatan politik. Bahkan tragisnya, namanya kini sering kali disinonimkan dengan kejahatan moral dalam politik itu sendiri “machiavellianisme”. Dalam pandangan poitiknya, Machiavelli menganggap bahwa sifat dasar manusia sebenarnya tidak pernah puas akan hasrat-hasrat dan keinginan-keinginannya, karenanya manusia itu sebenarnya sangat jahat, tamak, arogan, kejam, penuh kekerasan, dan nafsu akan kekuasaan. Dalam The Princes, ia secara tegas menyatakan bahwa dalam suatu politik murni, tindakan manusia harus selalu diarahkan pada “tujuan menghalalkan cara” (the end justifies means). Peandangan inilah yang menyebabkan Machiavelli sering kali dikenal sebagai bapak “politik kekuasaan,” sebutan yang mempunyai arti sangat penting dalam era modern.

Carl Von Clausewitz: Perang dan Permainan Politik
Perang merupakan tipikal dasar pemikiran Clausewitz. Dalam pemikirannya, ia menempatkan perang sebagai konsep inti yang tidak terpisahkan dari kebijakan poitik mana pun. Dia mengatakan “konsepsi bahwa perang merupakan cabang dari tindakan politik adalah berarti ia tidak berdiri sendiri.” Pemikirannya jelas dipengaruhi semangat politik “apa adanya”, atau empirisisme, yang menekankan gambaran realitas sebagai suatu yang telah tampak.apa yang kita kenal dari adagium : “perang adalah kelanjutan dari aktivitas politik dengan cara yang lain”, sebenarnya berasal dari pemahaman yang logis atas karakter sejarah dan pemikiran empiris yang melatarbelakanginya.

E.H. Carr: Realisme Saintifik dan Idealisme-Utopian
Karyanya yang berjudul The Twenty Years Crisis, tahun 1939, dapat dikatakan sebagai kritik seminal terhadap idealisme-liberal yang pada saat itu, di paro masa dua Perang Dunia, sangat mendominasi alam pemikiran dan praktik diplomasi Barat. Harapan-harapan kaum idealis tentang arti penting prinsip rasionalitas dalam usaha penghentian konflik kekuasaan, ternyata gagal di tengah kenyataan menigkatnya politik kekuasaan tradisional yang disebut “real-politik”. Ia memandang bahwa pengalaman di era 1930-an sebenarnya disebabkan oleh kesalahan idealisme-liberal dalam memahami suasana internasional. Kesalahan ini tak hanya berdampak pada realitas itu sendiri, tetapi juga trlah membawa studi HI pada suatu kemunduran. Baginya, ilmu sosial tidak hanya berkaitan dengan intensi perubahan, tetapi juga menyiratkan keinginan untuk lebih dahulu memahami apa yang terjadi sebenearnya agar dapa dijelaskan lalu mengubahnya.pada konteks ini, Carr beranggapan bahwa antara analisis dan manfaat tidak bisa dipisahkan begitu saja. Sebaliknya, Carr menganggap bahwa idealisme-liberal cenderung mengedepankan asas manfaat saja, teapi lupa akan asas hak yang juga merupakan suatu aspek fundamental dala prinsip-prinsip moralitas-kemanusiaan.
Bagi Carr, ilmu politik internasional yang menekankan pada hasrat khayal bagaimana kita “suka/senang” terhadap suatu dunia yang diinginkan, bukan hanya berbahaya bagi dunia politik internasional tetapi juga pada realitas yang ada. Sebab yang dipersoalkan sebenarnya bukan dorongan pengetahuan untuk perubahan tersebut, yang pada awalnya berasal dari suatu kesan bagaimana seharusnya dunia itu(ought to be), melainkan manfaat pengetahuan dalam retorika idealisme-liberl itu sendiri. Dipengaruhi pandangan Marxian, Carr beranggapan bahwa dalam rasionalisasi kebutuhan tersebut sebenarnya tersirat suatu kepentingan tertentu. Jadi yang dipermasalahkan Carr adalah cara untuk mendapatkan niatan baik itu sendiri. Sebab semua negara terdorong untuk melakukan hal yang sama, namun persoalannya ia terbentur dengan kepentingan yang dimiliki pihak lain. inilah mengapa Carr secara tegas menganggap bahwa tidak ada suatu “Harmoni Kepentingan” dalam sifat manusia dan hubungan internasional di pihak lai, seperti yang diyakini kaum liberal-internasionalis, kecuali “politik rasa iri” itu sendiri. Bagi Carr, penelitian politik internasional seharusnya didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya ada dan berjalan aat itu (to take account how things actually are). Pendekatan penelitian ini oleh Carr diistilahkannya sebagai Realisme.

Reinhold Niebuhr: Dosa dan Paradoks Kekuasaan
Daya tarik utama dalam teori Niebuhr biasanya dihubungkan dengan konsep biblikalnya tentang manusia yang ternoda oleh dosa asal, dan karenanya sifat jahat selalu timbul. Sifat dosa manusia dianggap bersumber dari keinginan-keinginannya. Keinginan adalah hal yang tak terhindarkan dari paradoks kebebasan dan keterbatasan tempat manusia hidup di dalamnya. Di samping itu, hal lain yang mendasari sifat dosa manusia itu adalah dorongan kehendak untuk berkuasa. Politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan. Kekuasaan nasional adalah proyeksi dari “kehendak untuk berkuasa” individual. Kendati Niebuhr percaya bahwa konflik itu inheren dalam hubungan antarkelompok dan antara bangsa, namun ia tak berpendapat bahwa negarawan quo negarawan adalah amoral. Pada intinya, pemikiran Niebuhr dapat kita anggap sebagai penegasan dari arti penting prinsip realisme politik dan politik kenyataan dalam segala aspek kehidupan, termasuk hubungan internasional.

Hans Morgenthau dan Prinsip-prinsip Realisme Politik
Pemahaman yang dibangun Morgenthau dalam karyanya Politics Among Nation telah memberikan suasana lain yang sangat berbeda dengan penjelasan yang dimiliki oleh kalangan idealisme yang mendominasi pelbagai pandangan politik internasional, pada saat-saat awal PD II. Dalam rangka menjelaskan anomaly PD II, Morgenthau berusaha melukiskan hokum realistic perilaku yang justru dibantah para idealis seperti yang diklaim Carr terlebih dahulu. Dia menegaskan bahwa semua poitik adalah perjuangan untuk kekuasaan, dimana negara-negara berusaha keras untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya, dan di mana kekuasaan negara-negara hanya dapat dibatasi dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara lainnya. Politik realisme adalah sebagai politik kepentingan kekuasaan dalam politik internasional merupakan hokum-hukum tersendiri yang mendorong bagaimana realitas politik internasional itu tercipta.
Tiga asumsi penting Morgenthau : Pertama, Negara bangsa yang merupakan pembuat keputusan adalah aktor yang paling penting bagi pemahaman hubungan internasional. Kedua, bahwa terdapat perbedaan yang tajam antara politik domestik dan politik internasional. Ketiga, hubungan internasional adalah suatu perjuangan untuk kekuasaan dan perdamaian. Morgenthau telah menyediakan beberapa asumsi dasar dalam menjelaskan dan memahami politik internasional yang disebutnya sebagai “Enam Prinsip Realisme Politik”, yaitu:
1. Realisme politik yakni bahwa politik, sama halnya masyarakat secara umum, diatur oleh huku-hukum obyektif yang berasal dari sifat alamiah manusia”
2. Konsep kepentingan yang didefinisikan sebagai kekuasaan merupakan petunjuk penting yang membantu realisme politik untuk menemukan jalannya dalam lanskap politik internasional
3. Kekuasaan dan kepentingan bersifat tidak tetap dalam ruang dan waktu
4. Realisme menegaskan bahwa prinsip-prinsip moral universal tidak dapat diaplikasikan dalam perilaku negara-negara
5. Realisme politik tidak mengidentifikasikan ‘aspirasi moral’ suatu bangsa tertentu dengan hokum-hukum moral yang universum
6. Perbedaan antara politik realisme dengan pemikiran-pemikiran dari mazhan lainnya adalah nyata dan ‘sangat dalam’…secara intelektual, politik realisme menekankan otonomi lingkungan politik.

Tidak ada komentar: