Irrashaimase

Welcome Welcome di Blog Super Gaje punya Lady Noal

Sabtu, 24 Juli 2010

Wanita dalam Dunia Politik

Perempuan dalam dunia politik? Kenapa tidak? Mulai dari Patriarki Selama ini, norma-norma atau keharusan yang disepakati (sistem nilai) serta cara berfikir (budaya) yang berkembang dalam masyarakat Indonesia telah menempatkan perempuan pada posisi sebagai kelompok lemah yang perlu diajari, dibimbing, dan ?diamankan?. Semua itu menjadi pembenaran bahwa perempuan tidak bisa dengan leluasa berperan di lingkungan masyarakat yang lebih luas (publik), melainkan harus tinggal di rumah demi keamanannya, dan berkonsentrasi untuk urusan rumah tangganya karena dianggap begitulah seharusnya menjadi seorang seorang perempuan. Peran sebagai ?penanggungjawab? urusan rumah tangga dan keluarga telah mempersempit ruang gerak perempuan untuk berada di luar rumah. Sistim ini terus langgeng dari generasi ke generasi sejak nenek-kakek kita, ibu-ayah, hingga kita sendiri menurunkannya kepada anak-anak kita. Sistim nilai dan budaya ini disebut sistim patriaki, yaitu sebuah sistim yang muncul dari keyakinan yang menganggap jenis kelamin laki-laki lebih tinggi derajatnya dibanding jenis kelamin perempuan.


Sistim patriarki telah menumbuhkan keyakinan dan cara berfikir yang melahirkan tindakan merendahkan penghormatan terhadap perempuan, sehingga akhirnya merendahkan martabat kemanusiaan kaum perempuan. Tetapi masyarakat (dan juga kaum perempuan sendiri) menganggap hal itu sebagai kewajaran. Karena dianggap wajar maka berbagai bentuk penindasan yang ketidak adilan terhadap perempuan itu berlangsung terus-menerus seperti tidak akan berubah. Berbagai bentuk perendahan martabat perempuan dikarenakan keyakinan kita terhadap sistim patriarki tersebut dapat kita lihat dalam berbagai praktek kehidupan yang membagi-bagi peran dan memposisikan perempuan berdasarkan jendernya, antara lain ; 1. Perempuan dianggap bagian (sub-ordinat) dari laki-laki. Selama ini selalu ada anggapan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki, bukan bagian dari diri perempuan sendiri. Hal ini dikarenakan masih kuatnya pandangan untuk lebih mengistimewakan laki-laki dibanding perempuan, adanya keyakinan terhadap nilai-nilai adat dan budaya di kalangan masyarakat tertentu yang mengganut sistim garis keturunan dari ayah.

Seperti yang kita tahu, bahwa akhir-akhir ini kedudukan perempuan dalam dunia politik di perhitungkan. Sebanyak 30%,perempuan harus ada dalam “wilayah” politik seperti menjadi calon anggota legislative. Selama ini politik hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang negative dan dihubungkan hanya dengan mereka yang berkuasa yang dalam hal ini laki-laki lah yang mendominasi. Ketika politik didefinisikan dengan perspektif yang baru, dengan melibatkan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30% masih menjadi kontrovesi. Peran politik kaum perempuan masih sangat kurang. Kendala utama disebabkan oleh laki-laki dan perempuan dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan. Bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat. Terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun. Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua yang seharusnya di rumah dan dininabobokkan dengan konsumerisme, hidonisme dalam cengkeraman kapitalisme.

Banyak kalangan perempuan itu sendiri yang menolak hal tersebut dengan alasan membatasi langkah wanita. Sedangkan bagi kaum perempuan yang menyambut hal tersebut untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan.Selama ini kiprah kaum perempuan di dunia politik atau lebih spesifiknya di gedung DPR/MPR hanya sebesar 12% saja. Sepintas permintaan kuota 30% untuk perempuan di parlemen memeng seperti pembatasan peran. Namun bila dibandingkan dengan peran perempuan yang hanya 12% tentunya hal ini menunjukan kemajuan pola pikir dan gerakan yang progresif. Pemberdayaan perempuan perlu diberikan ruang nyata menebarkan potensi berserakan di pinggiran kekuasaan. Sayangnya, alih-alih menggapai jumlah 30% di parlemen,peraturan saja ditolak oleh sebagian anggota DPR. Ironis memang, di satu sisi ingin mengakui persamaan peran antara laki-laki dan perempuan, namun di sisi lain ruang itu terkunci rapat untuk kaum perempuan

Keterlibatan Megawati Soekarno Putri yang berjenis kelamin perempuan sebagai Presiden RI wanita yang pertama memancing kontrovensi di masyarakat karena tidak mampu mewarnai percaturan dunia politik di Indonesia. Sosok kepemimpinannya seakan tidak cukup atau belum mewakili keseluruhan perempuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak dari sector public. Peran politik perempuan dalam dunia politik seakan beranekaragam. Sebenarnya dalam dunia politik, perempuan bias menembus apa saja dengan kualitas yang dimilikinya. Perempuan bias menjadi pemimpin dalam wilayah public yang signifikan. Namun harapan itu masih jauh dari kentayannya di lapangan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat tendensius mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negative tersebut dilekatkan pada perempuan sendiri telah terstruktur sedemikian rupa dibenak kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Pemberdayaan perempuan terbentur dinding sangat kokoh dari interpretasi perempuan tinjauan politik, agama, social. Perempuan sebenarnya mempunyai otonomi mutlak tentang dirinya. Sebagai manusia mempunyai kedudukan setara membawa kepemimpinan di muka bumi. Perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara dalam mengatur kesejahteraan manusia. Telah terjadi kesenjangan antara gagasan keadilan yang mendudukkan perempuan dengan laki-laki setara, namun realitas terjadi perempuan masih terkungkung oleh tidak adanya ruang kesempatan memadai mengaktualisasikan perannya. Banyak kalangan perempuan yang tidak siap dan mendukung sesama perempuan untuk maju bersaing dalam sebauh ranah dunia politik. Ketiadaan dukungan dari sebagian perempuan tentu didasari dari stigma dimasyarakat yang menilai perempuan cukup jadi ‘makmum’ saja. Hal inilah yang menyebabkan kesempatan tersebut kandas dan lagi-lagi dimainkan oleh laki-laki. Pertarungan di dunia politik memang penuh intrik antara siapa mempengaruhi siapa. Persoalan pengaruh inilah yang harus digalang dari solidaritas kaum perempuan untuk memberi kepercayaan kepada para perempuan yang berkualitas dalam bidangnya. Pembelaan dari sesama kaum perempuan adalah hal yang perlu jika ingin menabrak budaya yang mendominasi.

Kesiapan perempuan untuk maju secara berani mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakatnya penting diartikulasikan. Penguatan sipil sebagai bangunan kokoh suatu tatanan negara selayaknya menjadi konsen para aktivis perempuan untuk mendampingi kalangan perempuan yang tertinggal. Karena kita tidak mungkin maju sendirian, sementara para perempuan yang lain masih tertinggal pengetahuannya dan terbelenggu oleh mitosnya sendiri yang membelenggu kiprahnya dibidang politik. Perjuangan Kartini masih tetap relevan dengan situasi masa kini. Karena pada intinya, perjuangan Kartini adalah perjuangan pembebasan atas ketertindasan melalui pendidikan dan pengajaran. Perjuangan Kartini, yang sudah berumur satu abad lebih. Tetapi, masih kita saksikan banyak perempuan terpuruk karena terbatasnya perolehan mereka di bidang pendidikan. Terbatasnya modal pendidikan itu membuat terbatasnya lapangan kerja bagi mereka dan ini menimbulkan rentannya wanita terhadap kekerasan dan penindasan,

Walaupun demikian, bukan berarti pembebasan yang kebablasan tanpa mengikuti budaya Indonesia. Kebebasan tersebut dimaksud, bukanlah kebebasan pergaulan yang seperti kita lihat saat ini yaitu seperti mabuk-mabukan, menghisap ganja, main judi, menjadi WTS, atau mengedarkan ekstasi, tetapi kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang masih dibatasi oleh norma agama dan adat ketimuran yang santun dan mengutamakan kebaikan bagi komunitas masyarakatnya. Pembebasan tetap diteriakkan berlanggam dengan berlandaskan moral etik yang penuh kebaikan dan nilai-nilai kasih dan sayang sesama manusia. Islam sesungguhnya dihadirkan untuk membawa perdamaian bagi manusia. Maka dalam membagi peran politik antara laki-laki dan perempuan akan menjadi mitra sejajar yang saling mengokohkan bangunan bangsa yang telah rapuh ini.

Kemauan politik perempuan sangat starategis menjangkau pembalikan kekuasaan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Jumlah kalangan perempuan yang mencapai 50 % dalam pemilihan umum akan melandasi gerakan kaum perempuan dan menjadi diktum pembebasan selanjutnya. Bias mitos yang merasuk dalam tubuh perempuan yang irrasional belief akan ikut hanyat dengan realitas yang setara dan berkiprah sejajar dalam dunia politik. Cara pandang yang rasional dan mengutamakan nilai keadilan akan mampu mendorong keterlibatan perempuan lebih luas didunia publik. Tidak saja perempuan yang akan menikmati kemajuan ini, namun juga para kaum laki-laki menjadi lebih bijak dalam membagi tugas dalam bermitra kerja dengan perempuan dalam memutuskan kebijakan masyarakat luas.

Tidak ada komentar: